“PENANTIANKU DI TANAH BUGIS”
Karya
: Hardiyanti
Deru ombak laut pasang menjadi alunan nada nan
indah. Angin sepoi-sepoi yang beriringan menghembuskan makna estetika alam yang
dianugerahkan Sang Khalik. Birunya laut serta hijaunya pegunungan merupakan sajian
nikmat di sekitar kampung halamanku “Tanah Bugis”. Betapa bersyukurnya aku
terlahir dan dibesarkan di tempat yang menjadi saksi bisu sepanjang hayatku.
Menyendiri di pinggir laut bernaung langit senja yag
merah merona. Kusandarkan bahuku pada pohon sejenis pinus yang begitu rindang.
Perlahan kuraih sepucuk kertas yang berisi puisi dari sang kekasih yang kini
tak kuketahui dimana rimbanya di pelosok daratan merah putih ini. Kusam dan
hampir-hampir tulisannya mulai tak terbaca. Puisi yang tak kuketahui maknanya.
Entah puisi ini dia buat sendiri atau hanya sekedar plagiasi, tapi bagiku puisi
ini satu-satunya jejak terakhir yang ditinggalkan Andi Fadli sebelum dia
menghilang.
“Kini dia
kembali, setiap tetes kerinduan telah membeku, takkan ada rasa yang pudar
begitu saja…
Kini banyak hal
yang terjadi, satu dua bahkan tiga atau empat mungkn juga lima…
Aku tak tau udah berapa masalah
yang merajam tubuhku, tapi aku tetap melalui waktu…
Walau aku tak
ada harganya di mata sang kasih …
Aku tau aku yang
salah dengan berbagai kekuranganku…
Tapi adakah
cintanya untukku lagi???”
Air mataku tak kuasa kubendung setelah selesai
membaca goresan pena dari pujaan hatiku. Kejadian seperti ini berulang setiap
aku duduk di tempatku menyendiri itu. Terkadang aku malu pada ikan-ikan yang
berenang di hadapanku. Ikan-ikan yang menjadi saksi bisu penantianku pada
seseorang yang pergi meninggalkanku tanpa ada kabar sedikitpun.
“Rani, pulangmi Dek” suara Daengku (kakakku) mengagetkanku. Ternyata dia
telah berdiri di belakangku, selincah mungkin kuhapus deraian air mataku,
memasang senyum termanis seolah-olah tak terjadi apapun. “ Iye’ daeng” jawabku
sembari menghampirinya, dan kami pulang bersama. Rumahku tak jauh dari pinggir
laut, sehingga dari kejauhan sudah kulihat Emma’ku (mamaku) berdiri di pintu menunggu kami berdua. Beliau yang berjuang
sendiri menghidupi kami setelah Etta’ku (Ayahku)
pergi ke keluarga barunya. Bersama seorang nenek yang kupanggil Indo’, kami
tetap hidup bahagia dan berkecukupan dengan mengandalkan kios jualan Emma’ku.
Daengku bernama Rahman, tamat SMA, dia langsung kerja menjadi seorang pegawai
honorer di sebuah kantor perhubungan laut. Aku, Maharani, adalah anak bungsu
dari dua bersaudara yang sedang menempuh pendidikan di jenjang perkuliahan.
Hari libur kumanfaatkan untuk pulang
ke kampung halaman. Sambil menikmati teh manis, kulihat foto-foto masa SMP dan
SMA’ku. Pagi yang cerah tiap hari menemani langkahku ke sekolah. Sekolah yang
agak jauh dari rumah, sehingga baik pulang atau pun pergi, aku menggunakan
angkutan umum yang di daerahku disebut pete’-pete’.
Dengan uang seribu rupiah saya bisa sampai di sekolah. Masa-masa SMA yang kata
sebagian orang adalah masa-masa yang paling indah, tapi bagiku masa SMA adalah
masa penantian yang tak pasti. Penantianku
pada cinta pertamaku di masa SMP. Cinta pertama yang tak mungkin dapat
kulupakan karena kami telah berjanji akan menikah suatu saat nanti. Sejak masuk
SMA kelas dua, kami tak pernah lagi bertemu, awalnya kami berada di sekolah
yang sama. Tapi Dia dipindahkan ke
sekolah lain yang tak kutau dimana tempatnya. Mungkin karena orang tuanya yang
tak ingin kami memiliki hubugan spesial. Hingga saat itu aku menanti kabar
darinya, tapi seperti ditelan bumi dia benar-benar menghilang. Meskipun demikian, aku tak ingin mengecewakan
Emma’ku yang telah bekerja membanting tulang untuk menyekolahkanku, berharap
aku bisa jadi orang sukses. Untuk itu, aku selalu belajar dengan tekun, dan
alhasil aku selalu meraih juara kelas. Dan mendapat beasiswa untuk melanjutkan
pendidikan pada salah satu universitas
di Makassar.
Setahun menjelang wisuda, kuliahku begitu padat. Namun
tiap pekan kusempatkan untuk pulang ke kampung halaman. Dan saat berada di
kampung, aku berjalan ke tempat favoritku di depan rumah. “Aku masih
merindukanmu…Fad” tak sadar kuucap kata itu. Kerinduan yang mendalam pun kini
kurasakan. Tak ingin terlalu lama bersedih, aku pulang ke rumah, tapi tiba-tiba
kepalaku pening, aku jatuh pingsan dan tidak sadarkan diri selama beberapa hari.
Aku dibawa ke rumah sakit yang berada di Pare-Pare (Kota Madya Sul-Sel). Empat
hari di rumah sakit, aku baru sadar dipelupuk mataku tergambar sosok Andi Fadli
yang kulihat agak kabur. Tapi aku tak berdaya, mataku sama sekali tak bisa ku
buka, aku hanya bisa mendengar suaranya yang halus. Tapi, yang kulihat dan
kudengar itu mungkin hanya karena rasa kangenku padanya. Dan aku pun kembali ke
bawah alam sadarku. Keesokan harinya, aku mulai pulih, dan ternyata sakitku itu
karena kelelahan, sehingga tubuhku terpaksa mengistirahatkan aku secara paksa,
itu kata dokter. Setelah merasa benar-benar membaik atas restu Emma’ku aku
kembali ke Makassar untuk melanjutkan kuliahku.
Empat tahun menjadi mahasiswa,
sekarang aku telah menyandang gelar Sarjana Pendidikan. Aku memilih untuk
kembali ke kampung untuk bekerja, karena aku yakini tanah bugis ini adalah
tempat terbaik untukku. Selain itu aku memang tak bisa berlama-lama jauh dari
keluarga dan tanah kelahiranku itu.
Suatu hari di kampungku sedang diadakan acara
Mappadendang. Mappadendang adalah acara yang dilaksanakan atas keberhasilan
panen padi di tanah bugis. Dan untuk menghibur diri, aku ikut daengku untuk
pergi ke acara tersebut. Ternyata di sana sudah banyak warga yang datang,
penari sudah beraksi mengikuti iringan musik khas. Muda-mudi menggunakan acara
ini sebagai kesempatan untuk saling mengenal. Mereka ikut menari-nari,
bergembira atas rezeki yang diberikan Tuhan. Aku yang hanya tersenyum melihat
mereka terkejut oleh suara yang datang tiba-tiba. “mau ikut menari?”. Aku
menoleh ke arah suara itu, dan aku melihat seorang pria yang bertubuh kekar,
berkulit putih, nampak gagah dengan rambut yang ditata rapi. Dari mataku aku
melihat sosok Andi Fadli, tapi aku tak mau berharap dengan penantianku yang mungkin
sia-sia. “Maaf, siapa?” tanyaku. “Kamu sudah lupa yah, maaf aku telah membuatmu
menunggu” ucapnya. Dari perkataannya itu aku baru sadar itu dia. “Andi Fadli?”
tanyaku untuk memastikan. “Iya, ini aku.” Jawabnya sambil tersenyum dengan
pandangan mengarah ke para warga yang sedang bercanda tawa. Sekian tahun aku
tak melihatnya, dia begitu berbeda. Sambil menatap ke arahnya, air mataku tak
kuasa kubendung, mengalir begitu saja membasahi pipiku. Ingin kupeluk dia
begitu erat tapi budaya siri’ harus
tetap kupertahankan (Budaya siri’
adalah jiwa, harga diri dan martabat orang bugis). Apa kata para warga apabila
bukan muhrim berpelukan. Heummm …. Seakan-akan aku ingin berteriak, aku ingin
marah padanya, aku ingin tertawa, tapi aku tak tau bagaimana caranya mengeksresikannya.
“Ya Tuhan… dia kembali” ucapku dalam hati.
Dia tak pernah memandang ke arahku, entah karena
malu atau takut kalau aku melihat genangan air yang ada di matanya. “Gimana
kabar’ta?” tanyanya memecahkan suasana kaku di antara kami. “Alhamdulillah
baik, kita?” ucapku. “Baik juga. Daeng menjaga kamu dengan baikkan” tanyanya lagi.
“Iye, kenapa bertanya begitu?”kataku sambil memandang ke arah daengku yang
tersenyum padaku . “Karena aku telah meminta tolong padanya untuk menjaga kamu”
jawabnya sambil tersenyum. Ternyata selama ini daengku dan Andi Fadli sering
berkomunikasi, dan hal itu disembunyikan dariku.
Aku dan daengku pulang ke rumah.
Sesekali daengku melirik seolah-olah mengejek aku yang sedang tersenyum-senyum.
Sampainya di rumah kuminta penjelasan pada Daengku. Dan dia pun menceritakan
yang tidak kuketahui .“Kamu ingat tidak , satu tahun yang lalu kamu sakit, dan
tidak sadarkan diri? sebenarnya saat itu, Andi Fadli datang dari jakarta. Andi
Fadli bekerja sebagai nakhkoda di sebuah kapal pesiar. Tapi dia dipecat karena
memaksa ingin pulang mendengar kamu sakit parah. Dan setelah meyakinkan dirinya
bahwa kamu sudah mulai normal, dia kembali ke Jakarta dan mencari pekerjaan,
dan ternyata sekarang dia telah pulang kesini, syukurlah, dia ternyata berusaha
menepati janjinya enam tahun silam. Saat kalian lulus SMA, saya bertemu dia di
jalan, dan kami berbincang di warung dekat rumahnya. Dia menceritakan padaku
bahwa dia ingin menikahimu, tapi dia tak punya pekerjaan apa-apa, orang tuanya pun
tidak menyetujui hal itu, apalagi kita ini berasal dari keluarga yang tidak
berada, jadi keluarganya memberikan syarat padanya, apabila dia bisa mandiri
berpengahsilan sendiri dia bisa memilih wanita yang diinginkannya, tapi kalau
sampai dia tidak bisa, maka dia akan dijodohkan. Tapi dia berjanji padaku akan
kembali untuk menikahimu”. Mendengar cerita daeng, aku tak bisa berkata apa-apa
selain menangis merasa terharu. “Ya Allah, terima kasih” ucapku dalam hati.
Andi Fadli memang berasal dari keluarga
berdarah biru yang sering disebut “arung”
di Tanah Bugis. Terkadang aku malu untuk mengakui aku mencintainya karena
antara aku dan dia bagaikan bumi dan langit. Tapi kupasrahkan semuanya kepada
Tuhan Yang Maha Esa, kalau memang dia jodohku pasti aku yang mendampinginya di
pelaminan kelak.
Sejak pertemuanku dengan Andi Fadli,
aku merasa punya semangat baru. Tapi yang aku herankan, Andi Fadli tak pernah
lagi menghubungiku sejak pertemuan itu. Apakah aku akan berada dalam penantian
panjangku lagi?.
Hampir sebulan aku tak bertemu lagi
dengan pujaan hatiku. Aku penasaran, dan aku memutuskan untuk mengunjunginya.
Mungkin dia sakit, dan tak ingin membuatku khawatir, itu dipikiranku. Sepuluh
meter dari rumahnya, nampak begitu ramai, dan janur kuning melengkung di pagar.
Melihat hal tersebut, banyak pertanyaan yang muncul dibenakku “Apakah itu
pernikahan? Apakah adiknya akan menikah? Atau apakah dia yang akan menikah?
Kalau dia yang akan menikah, dengan siapa dia akan menikah?”
Aku memutuskan untuk pulang ke rumah
sebelum ada yang melihatku berdiri layaknya orang kebingungan. Di rumah kutemui
Emma’ku dan Daengku sedang duduk di ruang tamu memegang sebuah undangan. Daengku
memberikan undangan itu padaku. Emma’ku berdiri memegang bahuku, kubaca
undangan itu, entah apa yang kurasakan, tiba-tiba darahku seakan tak mengalir,
jantungku berhenti berdetak dan nafasku berhenti berhembus. “Ya Tuhan, salah
apa aku, kenapa aku harus mendapat cobaan seperti ini?” ucapku dalam hati,
tanpa sadar aku menyalahkan Tuhan, tapi suara Emma’ku menyadarkanku “istigfar
nak” katanya.
Undangan yang dikirim Andi Fadli
untukku, dia akan menikah dengan Andi Senni ,anak dari Andi Baso. Andi Senni
adalah temanku di SMP. Setelah membaca undangan itu, aku masuk ke kamarku
sambil menangis. Emma dan Daengku hanya terdiam melihatku. Kuambil Sepucuk
kertas yang berisi puisinya yang kutempel di dinding kamarku, kusobek-sobek,
kuremas-remas, foto-fotonya yang masih kusimpan tidak luput dari keganasanku.
Belum puas rasanya, aku berlari ke pinggir laut, tempatku mencurahkan isi
hatiku. Aku berteriak sekencang-kencangnya, teriakanku seakan-akan membelah
langit senja. Ikan-ikan yang biasa kulihat, tak menampakkan dirinya. Pikiranku
kacau, sempat aku berpikir untuk melompat ke laut untuk mengakhiri hidupku. Tapi
seketika aku teringat Emma dan Daengku. Akankah kubuat mereka malu. Sungguh
rugi keluargaku memiliki aku, jika aku harus mempertaruhkan budaya siri’ dalam
keluargaku yang selama ini kami pegang erat-erat hanya karena penantianku yang
sia-sia pada seorang pria yang tak berperasaan. Kutarik nafasku dalam-dalam,
aroma laut selalu mampu membuatku tenang, aku berlari memeluk emma’ku dengan
deraian air mataku. “Tuhan, semua terserah padamu, aku ikut maumu Tuhan. Aku
yakin engkau tak memberikan cobaan yang tak bisa dipikul oleh hambamu”.
Hari pernikahan Andi Fadli,
dilaksanakan pada pekan ini, tepatnya hari minggu. Dalam adat bugis, sebelum
pernikahan terlebih dahulu diadakan acara “mappacci”.
Acara ini merupakan simbol untuk pensucian bagi masing-masing pengantin.
Dan aku memutuskan untuk datang pada acara tersebut. Emma dan Daengku
melarangku untuk pergi, tapi kuyakinkan mereka bahwa aku masih memegang teguh
budaya siri’ dari keluarga kita, aku tak mungkin berbuat sesuatu yang dapat
membuat keluargaku malu. Aku datang ke sana, untuk membuktikan pada Andi Fadli
dan keluarganya bahwa aku adalah wanita bugis yang tidak gampang putus asa.
Aku memutuskan untuk pergi sendiri.
Kupasang senyum termanisku. Di sana sudah ramai oleh para tamu. Andi Fadli yang
berbaju pengantin adat Sul-Sel nampak gagah, tapi dia hanya terus menunduk. Dia
tidak melihat kedatanganku. Kudekati dia perlahan. Kuangkat daguku menengadah
ke atas, sebagai usaha agar air mataku tak menetes. Keluarganya melihatku, tapi
kusunggingkan senyum agar mereka percaya bahwa aku tak bermaksud datang untuk
merusak.
Kini aku berdiri di hadapan Andi
Fadli yang sedang menunduk, Kuraih tangannya sebagai simbol untuk mengucapkan
selamat atas pernikahannya. Dia menjabat tanganku tanpa melihat ke arahku. Kutarik
tanganku, tapi masih digenggamnya, “Maafkan aku.” Ucapnya. Ternyata dia tau itu
aku. Aku melihat air matanya menetes. “Tidak apa-apa” jawabku. Tangannya begitu
erat menggenggam tanganku.”Aku tidak apa-apa.” Kataku meyakinkannya.
Andi Fadli begitu lama memegang
tanganku, sampai-sampai aku tidak merasa nyaman dengan pandangan para tamu yang
sudah mulai menatap sinis ke arah kami. Kuingat keluargaku, tak mungkin
kupertaruhkan siri’ keluargaku
disini. Dan kuputuskan untuk melepas genggamannya secara paksa. Dan tiba-tiba
seseorang datang menepuk bahuku dengan lembut. Kulihat Ibunda Andi Fadli, Andi
Tenri,yang menatapku dengan pandangan sayup bergelinangkan air mata. Tak
kusadari tangan Andi Fadli telah lepas dari tanganku. “Bisa ikut saya sebentar”
katanya, langsung saja aku mengikuti langkah kaki wanita paruh baya itu,
meninggalkan Andi Fadli yang hanya menunduk menyembunyikan deraian air matanya.
Dipikiranku tak begitu jelas akan dibawa kemana aku? Apa sebenarnya yang
terjadi? Kenapa Andi Fadli dan Ibunya bersedih saat hari bahagianya.
Ku masukki sebuah kamar, di atas
sebuah tempat tidur terbaring Ayah Andi Fadli, Andi Hasan. Beliau ternyata
sakit parah. “Rani, saya sekeluarga memohon maaf kepadamu. Andi Fadli sangat
menyayangimu, tapi karena dia harus mengikuti kemauan kami untuk menikah dengan
Andi Senni. Saat kalian masih SMA, Andi Baso datang bersama Andi Senni, awalnya
kami bercanda, dan candaan kami inilah yang menjadi penyebab masalah ini. Kami
mengatakan bahwa kami akan meminang putriya. Dan arung menyetujui. Sebenarnya Andi
Fadli ingin meminangmu sejak tamat SMA. Tapi kami akui, kami orang tua yang egois,
kami memberi syarat padanya untuk dapat mapan secara mandiri jika ingin meminangmu.Kami
tak menyangka dia akan sukses tanpa bantuan kami, karena kamu tahu bahwa dia
seorang yang pemalu. Kami pun merestui untuk meminangmu karena melihat kesungguhannya.
Tapi siapa sangka, sebulan yang lalu Andi Baso datang menagih perkataan kami
yang menurutnya adalah janji. Kamu tau kan nak, kita suku bugis mempunyai
budaya siri’, kami takut jika dia mengatakan kepada masyarakat bahwa kami
adalah keluarga yang tak tepat janji. Jika hal ini terjadi budaya siri’ di keluarga
kami harus kami pertaruhkan direndahkan oleh orang lain. Kami membicarakan hal
ini pada Andi Fadli, dan dia sangat menolak. Kami tak bisa memaksa. Dan kami
sebagai orang tua hanya bisa pasrah apa pun kata orang. Namun, karena
memikirkan hal ini. Ayahnya jatuh sakit. Melihat keadaan yang memperihatinkan
ini. Andi Fadli terpaksa mengikuti kemauan kami. dan terjadilah pernikahan ini.
Hal ini hanya kami yang tau, tapi saya rasa kamu juga perlu tau akan hal ini.
Karena saya yakin kamu begitu kecewa terhadap kami. Kami minta maaf.” Cerita
Andi Tenri sambil menangis.
Setelah mendengar penjelasan beliau,
meskipun saya sangat kecewa tapi saya yakin inilah jalan terbaik dari yang
Kuasa. Aku pun tidak setuju jika Andi Fadli harus mempertaruhkan budaya siri’
keluarganya hanya karena aku. Sungguh durhaka jika dia membiarkan keluarganya
dipermalukan. Sementara dia bisa berkorban untuk tidak terjadinya hal itu.”ya
Allah… Tabahkanlah aku dan Andi Fadli” Yakinkalah kami bahwa semua adalah
kehendakmu, dan Engkau akan memberikan jalan terbaik bagi hambamu yang ikhlas.”
Satu tahun pernikahan Andi Fadli
telah berlangsung. Seiring berjalannya waktu, saya bisa menerima pernikahan Andi
Fadli. Meskipun belum sepenuhnya saya bisa melupakannya. Dan saya belum
menemukan seseorang pula yang dapat menggantikan Andi Fadli di hatiku. Andi
Fadli tak pernah lagi menampakkan dirinya, yang saya dengar dari kabar angin
dia dan keluarga besarnya menetap di Ibu Kota Jakarta. Selain kabar itu, tak
ada lagi kabar yang kuketahui tentang dirinya.
Lima tahun kemudian. Aku yang
bekerja sebagai guru di sekolah dasar kampungku masih menyandang status
melajang. Entah belum siap untuk berkeluarga atau aku masih mengharapkan Andi
Fadli. Astagfirullah, Aku tak boleh mengharapkan suami orang lain. Aku masih
bisa merasakan kebahagiaan dengan keluargaku, apalagi sekarang aku sudah
memiliki keponakan yang sangat lucu.
Suatu hari, saat saya pulang dari
mengajar. Panas yang begitu menusuk kulit membuatku tergesa-gesa untuk segera
sampai di rumah. Jarak rumah ke tempat mengajarku tidak terlalu jauh, jadi tiap
harinya aku hanya berjalan kaki. Tapi suasana hari itu sungguh membuatku
kehilangan energi, sehingga di tengah jalan aku pingsan. Aku tersadar saat
telah berada di atas tempat tidur yang tak asing lagi bagiku, yah itu kamarku.
Namun saat sadar aku melihat wajah Andi Fadli yang tak berubah sedikitpun. Dengan
kagetnya aku terbangun dan bertanya “Kenapa bisa disini?”. Dia tak menjawab.
Aku kemudian berlari keluar kamar mencari Emma’ dan Daengku. Di ruang tamu aku
melihat mereka dan keluarga Andi Fadli. Mereka tersenyum. Tiba-tiba aku
terkejut dengan yang berkata “maukah kau menikah denganku” seketika dunia ini
berasa berhenti bergerak. Aku tak mau menunjukkan ekspresi bahagiaku. Dan
dengan pelan aku bertanya “ Andi Senni mana?”. “Dia telah meninggal empat tahun
yang lalu karena kanker rahim”. “Innalillahi
wa inna ilaihi rajiun, saya turut berduka cita”kataku. “ Jadi bagaimana
nak? Apakah kamu bersedia menjadi menantu kami” tanya Andi Tenri bersama
suaminya yag telah sehat. “Terserah keluarga saya, tapi apa keluarga andi senni
tau tentang hal ini?”tanyaku. “Keluarga andi senni juga telah merestui kalian.
Dan pesan terakhir dari andi senni adalah agar engkau yang menjadi penggantinya”.
Mendengar hal itu aku sangat terharu, dalam hati aku berkata “Andi senni,
terima kasih”.
Sekarang aku melihat Andi Fadli memang
gagah meskipun menyandang status duda, dan dia terlihat lebih berwibawa berada
di pelaminan mendampingiku. “Ya Allah terima kasih Engkau mempertemukanku
dengan pujaan hatiku yang bertahun-tahun kunantikan. Inilah akhir penantianku,
penantianku di Tanah Bugis”.
“Sekian & Terima kasih”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar